DONATE

Dherma Kepada Anak Yatim Setara Pahala Haji

Dherma Kepada Anak Yatim Setara Pahala Haji
Ilustrasi: Gebyar Muharram Ranting  NU Tembokrejo I

Kisah menginspirasi Abdullah bin al-Mubarak:

Pada suatu tahun aku melaksanakan ibadah haji dan menyempurnakan manasiknya. Saat ku duduk di masjid al-haram selepas melaksanakan rangkaian manasik haji, aku terserang kantuk dan tertidur. Dalam mimpiku, aku melihat dua orang malaikat yang turun dari langit. Salah seorang dari malaikat itu bertanya kepada malaikat lainnya, 

“Berapa orangkah yang melaksanakan ibadah haji pada tahun ini?” 
Malaikat yang ditanya menjawab, “Enam ratus ribu orang.” 
Malaikat pertama bertanya lagi, 
“Berapa orang dari mereka yang ibadah hajinya diterima?” 
Malaikat kedua menjawab, “Tak seorang pun dari mereka yang ibadah hajinya diterima.”

‘Abdullah bin al-Mubarak berkata lagi:

Mendengar ucapan malaikat tersebut, hatiku berguncang dan benar-benar merasa pedih. Aku berkata (dalam hati), “Orang-orang yang melaksanakan ibadah haji itu itu telah berkumpul dengan berlelah-lelah, dan mereka berdatangan dari seluruh penjuru yang jauh seraya membelah gurun, lantas mereka dianggap sia-sia di sisi Allah?!?” 

(Kudengar lagi) Malaikat kedua berkata, “Ada seorang lelaki tukang sol sepatu yang tinggal di Damaskus, namanya ‘Ali bin al-Muwaffaq. Dia tak ikut melaksanakan ibadah haji. Akan tetapi, Allah menuliskan baginya pahala ibadah haji secara sempurna, lalu dengan sebab keberkahan ‘Ali bin al-Muwaffaq ini, Allah pun berkenan menerima ibadah haji orang-orang yang melaksanakan ibadah haji ini.”


‘Abdullah bin al-Mubarak pun terbangun dari tidurnya, lalu berkata lagi:

Aku pun pergi menuju Damaskus lantaran tak ada yang lebih utama untuk kutemui selain orang tersebut. Aku akan mencari tahu darinya tentang amal-amal yang diperbuatnya sehingga aku pun mengetahui amal apa yang membawanya kepada derajat tersebut sampai-sampai dituliskan baginya pahala haji secara sempurna bahkan diterima pula ibadah haji kebanyakan kaum muslimin lantaran keberkahannya. 

Kemudian sampailah aku di Damaskus dan berhenti tanpa petunjuk di depan pintu sebuah rumah. Aku mengetuk pintu tersebut, lalu keluarlah seseorang dari dalam rumah. 
Aku pun menanyakan namanya, lalu dia menjawab, “Namaku ‘Ali bin al-Muwaffaq.” 

Aku bertanya lagi, “Apa pekerjaanmu?” 

‘Ali bin al-Muwaffaq menjawab, “Aku seorang tukang sol sepatu. Pekerjaanku memperbaiki sepatu.” 

Aku berkata, “Aku ingin berbicara denganmu.” Kebetulan di situ ada masjid. Kami berdua pun memasuki masjid itu. 

Aku beritahukan kepadanya tentang mimpiku, dan kukatakan kepadanya, “Aku adalah ‘Abdullah bin al-Mubarak.” Begitu mendengar akan namaku, dia pun berteriak dan pingsan. Setelah dia sadar kembali, kukatakanlah kepadanya, “Beritahukanlah kepadaku tentang keadaanmu (sampai-sampai kau disebut dalam mimpiku).”

Lantas ‘Ali bin al-Muwaffaq pun bercerita:

Sejak dari tiga puluh tahun yang lalu, aku bertekad untuk mengunjungi Ka’bah dan melaksanakan ibadah haji. Aku benar-benar sangat mementingkan hal itu. Aku selalu menyisihkan sedikit uang dari hasil pekerjaanku memperbaiki sepatu hingga terkumpullah uang sejumlah tiga ratus lima puluh dirham. 

Aku bermaksud untuk berangkat haji pada tahun kita ini. Aku melihat dirhamku belumlah cukup. Kukatakan pada diriku, “Aku bersabar untuk tetap mengumpulkan dirham tahun ini, semoga saja bisa kudapatkan sebanyak lima puluh dirham lagi agar genaplah menjadi empat ratus dirham. Dengan demikian aku akan melaksanakan ibadah haji, insya Allah ta’ala.” 

Saat itu istriku sedang hamil. Suatu hari, istriku mencium bau masakan dari salah satu rumah tetanggaku. Istriku sangat ingin untuk bisa mencicipi makanan itu. Dia pun memintaku untuk mendapatkan makanan itu. Aku lantas mendatangi rumah yang mengeluarkan aroma masakan tersebut. Aku meminta sedikit dari makanan tersebut seraya memberitahu tentang keinginan istriku yang sedang hamil. 

Pemilik rumah yang kudatangi adalah seorang perempuan. Begitu mendengar permintaanku, dia lantas menangis dan berkata, “Aku mempunyai beberapa orang anak yang masih kecil. Mereka yatim tak lagi punya ayah. Sudah seminggu ini mereka tak makan. Tadi aku memasuki area puing-puing reruntuhan, lalu kutemukan di sana bangkai keledai. Aku pun mengambil sepotong dagingnya. Daging itulah yang ada di dalam periuk itu, dan itu halal bagi kami tetapi haram bagi kalian.” 

Setelah mendengar kisah perempuan tersebut, hatiku pun terbakar dan merasa iba dan kasihan terhadap mereka. Aku pun kembali ke rumah dan mengambil dirham simpananku yang berjumlah tiga ratus lima puluh dirham. Aku membawanya kepada perempuan itu dan memberikan semua kepadanya untuk nafkah dirinya dan anak-anaknya. Aku mencukupkan bagi diriku dengan berderma seraya mengharapkan wajah Allah atas ibadah haji yang tadinya ingin kulakukan. Kukatakan (pada diriku sendiri), “Dermaku inilah yang akan menunaikan bagiku kewajiban haji dan kedudukannya dengan pertolongan Allah.”

(Mendengar penuturan ‘Ali bin al-Muwaffaq) itu, berkatalah ‘Abdullah bin al-Mubarak, “Kau benar. Malaikat yang berbicara dalam mimpiku pun benar, dan yang Maha Kuasa berlaku adil dalam hukum dan keputusan. Sungguh Allah lebih mengetahui hakikat segala sesuatu.” 

[Kitab Tadzkirah al-Auliya’ halaman : 230–232]
_________________

Post a Comment

0 Comments