Direktur Utama BAZNAS, Mas Arifin Purwakananta mengalami kegalauan besar, tugasnya sebagai koordinator zakat nasional dalam melalui BAZNAS seperti ada ganjalan. Apa sebab? Para sahabat perjuangan yang puluhan tahun berjuang bersama berada di gerakan zakat masih belum percaya sepenuhnya dengan BAZNAS. Lembaga yang (secara eksekutif) dipimpinnya.
Sementara para pimpinan LAZ yang mayoritas berhimpun dalam Forum Zakat (FOZ) juga merasa dizalimi. Menganggap perasaan dan hati BAZNAS tidak belum satu jiwa satu nafas dalam pengurangan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat. Itu yang tertangkap dalam diskusi grup WA Masyarakat Zakat Indonesia.
Padahal, baik BAZNAS maupun LAZ berada dalam frekuensi yang sama: penguatan dan pemberdayaan masyarakat. Mana ada pimpinan lembaga zakat yang memiliki vila mewah ratusan miliar harganya, atau sederet mobil mewah terparkir di garasi, atau bergelimang harta berlebihan. Para Amil Zakat hidup standar saja. Sebab menjadi Amil bukan jalan menjadi kaya raya. Tentu kecuali mereka yang punya bisnis pribadi yang terang benderang.
Mana tega para Amil Zakat memakan harta mustahik? Apa rela mereka membawa beras dan makanan pokok untuk keluarga mereka dari uang kaum asnaf yang papa? Saya pikir tidak. Tentu Gusti Allah mboten sare kalau terjadi seperti itu.
Dana zakat itu bila dikorupsi, seringkalu pembalasannya langsung. Seketika. Tidak menunggu bui atau hotel prodeo hasil ketukan palu hakim atau ketikan panitera. Baca saja Majalah Al-Hidayah yang sering memuat kisah pembalasan langsung itu. Hehe.
Sependek pengamatan saya, nilai rasa berbeda-beda. Mungkin perlu pendalaman wawancara dengan masing-masjng pegiat zakat, agar didapat apa sebenarnya keinginan dan kekhawatiran tiap orang.
Namun, kiranya demikian peta posisi gerakan zakat Indonesia. Pertama, ada lembaga zakat nasional yang telah berusia lama. Sebut saja Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, Inisiatif Zakat Indonesia (dahulunya PKPU–yang kini menjadi lembaga kemanusiaan sendiri), LMI, Nurul Hayat, dan banyak lagi lainnya. Maaf bila belum disebut.
Di antara Laznas ini ada yang fokus pada yatim, misalnya Rumah Yatim Arrohman dan Panti Yatim Indonesia.
Kedua, ada lembaga zakat berbasis Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Disebut ‘berbasis’ karena badan hukumnya sendiri. Terlepas dari perusahaan. Pengelolanya juga bukan karyawan BUMN tersebut. Mereka ada dalam wujud yayasan. Misalnya Yayasan Baitul Mal (YBM) BRI, YBM PLN, Baituzzakah Pertamina, Mandiri Amal Insani, Bamuis BNI, dan sebagainya.
Ketiga, ada yang berbasis ormas. Misal Lazis Muhammadiyah (Lazismu), NUCare-Lazisnu (Nahdlatul Ulama), Baitul Mal Hidayatullah, Lazis Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Pusat Zakat Umat (PZU) Persis, dan Lazis Wahdah Islamiyah.
Keempat, berbasis perusahaan. Misalnya Baitul Mal Muamalat (ini berbasis perusahaan namun memiliki izin operasional), Lazis Amaliyah Astra, BPZIS Indosat, MTTelkomsel, Lintas Artha, LAZ Sucofindo, Rekayasa Industri, dan ratusan lain yang bergerak di lingkup perusahaan masing-masing.
Nah, yang ‘swasta’ ini leluasa mengelola zakat, termasuk bebas berasosiasi di dalam Forum Zakat (FOZ). Hampir di semua provinsi telah berdiri FOZ Wilayah. Organisasi berbadan hukum perkumpulan yang berdiri pada 1997. Peran FOZ dalam mengembangkan peradaban zakat tentu tidak bisa dinafikan. Gerakan zakat bisa membesar juga salah satunya sumbangsih FOZ. Termasuk mendorong UU 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Sayangnya, FOZ saat ini tidak masuk dalam nomenklatur regulasi apapun di negeri ini. Mungkin perlu perjuangan lebih kuat, agar badan hukum FOZ masuk dalam lingkar kebijakan. Bukan hanya pembisik kementerian atau lembaga negara.
Pernah ada satu masa yaitu ketika Pak Naharus Surur menjadi Ketua Umum, FOZ masuk dalam Keputusan Menteri Agama Tahun 2003 sebagai asosiasi yang berhak mengeluarkan surat rekomendasi pembentukan Lembaga Amil Zakat. Tentu itu sebelum lahir UU 23/2011. Setelah lahir KMA yang baru, nama FOZ tidak ada di nomenklatur regulasi.
Di sisi lain, ada BAZNAS yang secara kelembagaan menaungi BAZNAS Daerah. Sebarannya ada di seluruh Indonesia. Sepertinya, secara jumlah banyak banget. Tapi, koordinasi tak kunjung rapi. Meski ada perkembangan besar sejak dipimpin Pak Bambang Soedibyo dan Mas Arifin sebagai nahkoda kapal BAZNAS. Penghimpunan menanjak terus. Manajemen kelembagaan BAZNAS semakin rapi.
Namun, BAZNAS adalah wilayah politik. Kenapa? Anggota BAZNAS, atau komisioner, diangkat berdasar SK Presiden. Di tingkat daerah, diangkat oleh Gubernur atau Bupati. Meskipun tahapannya harus juga melalui pencalonan, fit and proper test (uji kelayakan) oleh legislatif, dan menghimpun pendapat publik di media massa. Tetap keputusan akhir ada di presiden atau kepala daerah.
Di sini, fungsi koordinasi menjadi mengalami ganjalan. Terutama bila kepala daerah ‘punya mau sendiri.’ Mengkoordinir BAZNAS tentu tidak semudah konsolidasi cabang-cabang Laznas. Meskipun ditunjang teknologi mutakhir dan canggih. Konsolidasi pelaporan seringkali kedodoran. Dimaklumi, sumber daya pengelola, pemahaman tentang zakat dan kesigapan bergerak tentu berbeda-beda. Tidak semudah Laznas yang seleksi amilnya yang ditempatkan di cabang bisa distandarkan. Mereka juga mendapat didikan rutin baik penghimpunan, pengelolaan maupun pendistribusian zakat.
Kembali ke silang rasa para Amil. BAZNAS merasa sulit mengkoordinasikan. Sementara Laznas masih ‘curiga’ dengan BAZNAS yang dianggap menghambat gerakan zakat. Campur tangan negara tak terlalu positif bagi pengelolaan dana publik.
Bagaimana mendudukkan ini? Ya duduk ngopi. Perasaan itu didialogkan. Bukan sekedar ditulis di grup WA, atau diekspresikan dengan diskusi formalistik. Sulit masuk ke dasar hati kalau seperti itu. Sebab, prasangka yang bermain.
Dalamnya hati tidak ada yang tahu. Perasaan juga tidak bisa dibaca. Bila hanya berdasar prasangka, mungkin lebih baik bila hukum jadi penengahnya
0 Comments