DONATE

Penjelasan Hadits ‘Tak Ada Hak Lain dalam Harta Selain Zakat’


Di tengah pembahasan soal pajak, tiba-tiba ada salah satu pembaca yang mempertanyakan dasar keabsahan pajak dalam Islam. Beberapa dari mereka mempersamakan pajak dengan pungutan liar (al-muksu) yang hukumnya haram. Mereka tidak lupa menyitir sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Mâjah dan Imam Al-Thabarânî. Setelah dilakukan uji literasi, ternyata hadits ini juga bisa dijumpai dalam kitab al-Talkhîsh al-Habîr karya Ahmad ibn Ali Muhammad al-Kanâniy al-Asyqalânî.


ليس في المال لحقا سوى الزكاة

Artinya: “Tidak ada hak dalam harta selain zakat.” (Ahmad ibn Ali Muhammad al-Kanâniy al-Asyqalânî, al-Talkhîsh al-Habîr, Beirut: Muassasah Qurthubah, 1995: Juz 2: 313). 

Di dalam kitab ini, al-Kanânî memberikan komentar bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh perawi yang bernama Hamzah Maimûn al-Sya’bi yang dipandang tidak tsiqah (terpercaya) sehingga menyebabkan status hadits menjadi dla’if. Namun, menurut penjelasan Syekh Taqîy al-Dîn al-Qusyairî di dalam Al-Ilmâm, ada riwayat hadits yang lain dari Ibn Mâjah yang menunjuk pengertian hampir senada, namun dengan lafadh yang berbeda. Hadits tersebut disampaikan oleh Ibn Mâjah dalam Bab Menunaikan Zakatnya Harta. Bunyi dari hadits tersebut adalah: 

ليس بكنز لحقا سوى الزكاة

Artinya: “Tiada hak dalam harta yang tersimpan selain dari zakat.” (HR. Ibn Mâjah) 

Hadits ini menjadi saksi (syâhid) bagi hadits sebelumnya sehingga derajat hadits yang pertama naik menjadi shahih lighairih. Sementara itu, Imam Al-Tirmidzî meriwayatkan sebuah hadits lain yang bunyinya seolah bertentangan dengan hadits di atas, yaitu: 

إن في المال لحفا سوى الزكاة

Artinya: “Sesungguhnya dalam setiap harta terdapat hak selain zakat.” (Ahmad ibn Ali Muhammad al-Kanâniy al-Asyqalânî, al-Talkhîsh al-Habîr, Beirut: Muassasah Qurthubah, 1995: Juz 2: 313)

Hadits terakhir ini ternyata memiliki banyak perawi, di antaranya adalah Al-Tirmidzi, Ibn Mâjah, al-Dârimi, al-Thahâwî, al-Thabarâni, al-Dâruquthnî, al-Baihaqî dan Ibn Mardawaih dari jalur sanad Aswad ibn ‘Amir, Muhammad ibn Al-Thufail, Asad ibn Mûsa, Hammâd ibn Salmah, Bisyr ibn Al-Walîd, Âdam ibn Abî Iyâs dan Yahya ibn Abd Al-Hamîd. Ketujuh sanad ini masih segenerasi dan mereka semuanya mendapatkan hadits bertemu pada jalur sanad Abd Al-Lâh al-Nakhâ’î, dari Abû Hamzah, dari Al-Sya’bî dari Fâthimah binti Qais (w. 50 H) dari Nabi SAW. Banyaknya perawi yang bertemu pada jalur sanad yang sama serta meriwayatkan dengan lafadh yang sama pula, maka menaikkan derajat hadits ini sebagai hadits shahih. 

Sampai di sini, maka secara umum ada dua hadits yang sama-sama shahihnya namun dilihat dari sisi lafadh hadits seolah bertentangan. Hadits pertama menjelaskan bahwa tidak ada hak lain dalam harta selain dari zakat, sementara pada hadits terakhir menyebutkan bahwa ada hak lain selain zakat dalam sebuah harta. Manakah yang harus diambil? 

Metode pertama adalah berusaha mengompromikan (tharîq al-jam’i) kedua hadits tersebut, karena keduanya memiliki derajat kesahihan yang sama. Bagaimana caranya? Hadits yang menunjuk pengertian tidak ada hak dalam harta selain dari zakat, lafadh haditsnya adalah bersifat mutlak sehingga memerlukan penjelasan. Penjelasan dapat diperoleh dari hadits yang kedua, yaitu tidak ada hak lain dalam harta yang “tersimpan” selain dari zakat. Hadits pertama dibatasi oleh hadits kedua, bahwa zakat memang hanya berlaku untuk harta yang sudah tersimpan selama satu tahun dalam gudang atau tempat penyimpanan. Adapun hadits yang terakhir, adalah tidak berbicara mengenai bab zakat. Ia berbicara mengenai bab shadaqah. Artinya, bahwa ada hak orang lain yang musti ditunaikan oleh seorang hamba yang diambil dari sebagian hartanya dengan jalan mengeluarkannya lewat jalur shadaqah. Shadaqah merupakan harta yang dikeluarkan selain zakat dan banyak dianjurkan dalam banyak teks nash. 

Kedua, adalah dengan jalan memeriksa sanad masing-masing perawi dalam setiap tingkatan. Berdasarkan hasil kritik sanad diketahui bahwa Syarîk ibn Abd Al-Lâh al-Nakhâ’i al-Kûfi (w. 177 H) adalah perawi yang mendapat gelar shaddûq (jujur). Sementara itu Abû Hamzah Maimun al-A’wari al-Qashâbi al-Kûfi dikenal sebagai perawi dlaif dan bersifat matrûk al-hadîts (yang ditinggalkan haditsnya). ‘Amir ibn Syarâhîl al-Sya’bi al-Kûfi (w. 109 H) dikenal sebagai perawi yang memiliki derajat tsiqah. Adapun Fâthimah bintu Qais (w. 50 H) adalah termasuk perempuan shahâbiyah (termasuk kelompok sahabat). 

Hadits terakhir, riwayat Ibnu Mardawaih bisa kita temukan dalam Tafsir Ibnu Katsir, dan disebutkan ia mendapatkan sanad dari jalur Adam ibn Abî Iyâs dan Yahya ibn Abd Al-Hamîd dari Syarîk (w. 177 H). 

Selain ketujuh perawi di atas, ada perawi ke delapan, yaitu Al-Thabarî mendapatkan riwayat hadits yang sama dari jalur sanad Abî Kuraib dari Yahya ibn âdam dari Syarik dari Hamzah dan seterusnya, dari Amir al-Sya’bi dari Fâthimah bin Qais menyampaikan bahwasanya ia mendengar Rasûl al-Lâh SAW bersabda: “Sesungguhnya di dalam setiap harta terdapat haq selain zakat.” Ibnu Mâjah meriwayatkan dari jalur yang sanad yang sama dengan al-Thabarî namun dengan lafadh hadits yang berbeda, yaitu: “Tidak ada hak lain dalam harta selain dari zakat.” Pertanyaannya kemudian, jika jalur sanadnya sama, lantas kenapa lafadh haditsnya berbeda? Pertanyaan ini mengundang pengertian yang membingungkan di antara ahli hadits sehingga menengarai bahwa hadits ini memiliki sanad yang mudhtharib (membingungkan). 

Sampai di sini belum ada keputusan, hadits mana yang hendak dipakai. Apakah hadits pertama ataukah hadits terakhir? Karena bagaimanapun juga keduanya menunjukkan pertentangan dari segi makna. Solusi yang terakhir adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Shalah, yaitu: 

إنما نسميه مضطربا إذا تساوت الروايتان. أما إذا ترجحت إحداهما بحيث لاتقاومها الأخرى بأن يكون راويها أحفظ أو أكثر صحبة للمروي عنه أو غير ذلك من وجوه الترحيحات المعتمدة فالحكم للراجحة ولايطلق عليه حينئذ وصف المضطرب

Artinya: “Sesungguhnya kami menyebut suatu hadits sebagai mudltharib manakala ada kesamaan riwayat di antara dua hadits yang berbeda. Adapun apabila salah satu dari kedua riwayat ini memiliki faktor keunggulan yang tidak dimiliki hadits lain yang berbeda, misalnya perawinya diketahui lebih banyak hafalannya, atau lebih banyak masa shuhbah-nya dengan perawi sebelumnya, atau karena faktor lain yang bisa menunjukkan indikasi keunggulan, maka hadits yang diketahui memiliki keunggulan tersebut disebut hadits yang râjih sehingga tidak bisa disifati sebagai hadits mudhtharib.” (Abû Umar wa Utsmân ibn Abd al-Rahmân al-Syahrazûri, Ulûm al-Hadîts li Ibn Shalâh, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: 94)


Dengan menimbang pendapat dari Ibn Shalah ini, maka hadits yang terakhir yang menyatakan ada hak lain di dalam harta selain zakat, merupakan hadits yang terpilih dan dianggap râjih (kuat) karena beberapa hal, yaitu: 

1. adanya banyak perawi yang meriwayatkan 
2. Lafadh hadits di antara perawi-perawi tersebut menunjukkan bunyi yang sama

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan takhrij hadits, ada hak lain di dalam harta selain dari zakat. Kesimpulan ini ternyata juga sama dengan kesimpulan yang ditekankan oleh Al-Tirmidzi dan ia menyatakan: هذا أصح (pendapat ini (râjih) yang paling benar). Tidak lupa beliau memberi komentar bahwa hadits ini adalah tergolong hadits yang masyhur serta paling banyak dipergunakan oleh kalangan ulama mutaqaddimin. (Ahmad ibn Ali Muhammad al-Kanâniy al-Asyqalânî, al-Talkhîsh al-Habîr, Beirut: Muassasah Qurthubah, 1995: Juz 2: 313).

Namun, bagaimanapun juga, jawaban ini belum bisa menjawab pertanyaan tentang bolehnya mengambil/memungut pajak oleh pemerintah kepada masyarakatnya. Kehujahan pajak akan lebih komprehensif bila merujuk pada catatan-catatan seputar riwayat perpajakan, sebagaimana telah disampaikan oleh penulis dalam sesi terdahulu. Kelak akan sampai pada dialektika fiqihnya yang membedakan antara pajak dengan pungutan liar (al-muksu). Wallâhu a’lam bish shawâb.


Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, Jatim

Post a Comment

0 Comments