“Berzakatlah kalian seperti shalat, puasa, haji karena itu kewajiban”
Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Asaakir, dari Jabir bin Abdillah RA, dari Rasulullah SAW, Allah berfirman, “Inna hadza diinun irtadloituhu linafsi, lan yushlihahu illaa as-sakhoo-u wa husnul khuluq, fa akrimuuhu bihima maa shohibtumuuhumaa, inilah agama yang Aku ridhai untuk diri-Ku. Tidak ada yang mampu membuatnya bagus, kecuali kedermawanan dan akhlak yang bagus. Karena itu, muliakanlah agama ini dengan yang dua itu selama kamu melestarikannya.”
Mengapa kedermawanan? Sebab harta adalah titipan Allah. Titipan itu bisa benar-benar menjadi anugerah kalau manfaatnya mampu menetes kepada lingkungan. Bagi seorang mukmin, segala isi dunia ini, termasuk harta, harus berfungsi ibadah.
Ibadah berarti infak. “Wa mimmaa rozaqnaahum yunfiquun, dan sebagian dari yang Kami anugerahkan, mereka infakkan: derma.” Sungguh merugi, hartawan yang tidak demawan. Rugi diri sendiri, rugi pula masyarakatnya.
Dalam sebuah hadisnya Rasulullah SAW bersabda, bahwa di antara empat hal yang menentukan tegaknya dunia (masyarakat) adalah dermawannya kaum berpunya, di samping ilmunya para ulama, hadirnya pemimpin yang adil, dan doanya orang miskin.
Lebih lanjut, tujuan kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak. Sedangkan akhlak itu sendiri melayani dua matra: hablun minallah (hubungan dengan Allah) dan hablun minan naas (hubungan dengan sesama manusia).
Tidak dapat disebut berakhlak mulia kalau kedua matra itu tak terlayani dengan sebaik-baiknya. Bukan akhlak mulia bila keshalihan ritual tanpa dibarengi keshalihan sosial atau sebaliknya. Sama halnya dengan khusyuk (merendahkan diri di hadapan Allah), tak dapat dipisah dari tawadhu (berendah hati di hadapan makhluk).
Zakat, infak dan sedekah sebagai bentuk keshalihan sosial dan hablun minan naas, merupakan instrumen yang sangat penting dalam pemberdayaan masyarakat. Sebab jika potensi zakat itu bisa tergali maka pemberdayaan masyarakat akan besar dan bisa menghilangkan kemiskinan di Indonesia.
Diperlukan upaya untuk terus menggali potensi zakat ini agar bisa memberikan nilai tambah dan melakukan perubahan besar-besaran dalam mengentaskan kemiskinan dengan cara yang sangat cepat. Jumlah masyarakat muslim Indonesia yang banyak, menjadi sangat potensial untuk menjaring sebanyak-banyaknya para calon muzaki.
Proses ini membutuhkan berbagai cara dan inovasi agar penghimpunan zakat semakin intensif, karena penghimpunan dana zakat di Indonesia masih jauh potensi yang sesungguhnya.
Orang yang belum berzakat atau yang berzakat tapi tidak melalui lembaga, bisa berzakat melalui lembaga zakat. Karena penyaluran zakat melalui lembaga pembagiannya akan lebih selektif, tidak konsumtif, dan pemberdayaannya sangat produktif.
Semoga potensi zakat ini bisa meningkatkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat, sehingga nantinya zakat harus bisa mengubah seorang muslim menjadi kuat. Mustahik berubah menjadi muzaki sehingga bisa meningkatkan jumlah orang yang berzakat, serta memberdayakan bidang-bidang lain yang dibutuhkan masyarakat, seperti pendidikan, dakwah, dan pengembangan ekonomi kerakyatan lainnya.
Berbagi itu memberi, saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Nilai-nilai berbagi itu bagian dari ajaran islam, yakni ma’iyah. Kita tidak boleh membiarkan ada orang yang sulit.
Bahkan dalam hadits disebutkan: “Bukan golongan kami orang yang tidur dengan perut kenyang sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar”. Program zakat ini akan menciptakan perubahan yang sangat besar, khususnya bagi Indonesia.
Gerakan NU
Pesan saya khusus kepada para pengurus di lingkungan Nahdlatul Ulama tentang dua aspek organisasi, yakni pemikiran (fikrah nahdliyah) dan gerakan (harakah nahdliyah). Keduanya menjadi garis atau pegangan yang harus dipedomani warga NU.
Pada aspek pemikiran, NU memegang apa yang disebut dengan tawassuthiyah (moderasi), tathawwuriyah (dinamisasi), dan manhajiyah (metodologi). Moderat artinya tidak terlalu tekstual, juga tidak terlalu liberal.
NU adalah organisasi yang berpikir dinamis sebagaimana jargon al-muhafadhah ‘alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (melestarikan tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Dalam proses dinamisasi tersebut, NU harus berpedoman dengan metodologi atau manhaj.
Dari sisi gerakan, NU mengedepankan himayah (perlindungan) dan ishlahiyyah (perbaikan). NU harus menjaga ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah yang mengedepankan sikap-sikap toleran, moderat, dan adil.
Saya juga mendorong NU untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Al-muhafadhah ‘alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah, menurut saya ini kurang inovatif, hanya menjaga dan mengambil. Moto ini mesti ditambah dengan al-ishlah ila ma ghairil ashlah (memperbaiki apa yang belum menjadi lebih baik).
Tapi yang lebih baik juga tidak seterusnya baik. Baik hari ini belum tentu baik nanti. Jadi harus ditambahi lagi ‘tsummal ashlah fal ashlah (perbaikan terus menerus). Imam Izzuddin Abdus Salam yang mengatakan bahwa orang yang mengabaikan inovasi berarti tak paham soal keutamaan perbaikan. Garis-garis tersebut dengan sebutan mabadi nadhliyat (dasar-dasar ke-NU-an).
Khusus tentang zakat, saya menyerukan harakah an-nahdliyyah lizzakah, yaitu menggelorakan gerakan kebangkitan kaum nahdliyin untuk berzakat. Tentu pemberdayaan masyarakat sebagai pen _tasharruf_annya harus inovatif, kreatif dan menyesuaikan dengan keadaan zaman.
Zakat, infak, dan sedekah adalah sendi pembangunan, selain rukun Islam. Karena itu saya menganjurkan berzakatlah kalian seperti shalat, puasa dan haji. Karena itu adalah kewajiban.
Wallahul muwaffiq ilaa aqwamit thariiq.
* Penulis adalah Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Tulisan ini merupakan pengantar untuk buku "Membumikan Sedekah" karya Amin Sudarsono, Syamsul Huda, dan Nur Rohman (Jakarta: NUCare, 2017)
0 Comments