DONATE

Rohingya, Etnis Paling Tertindas


Oleh A Muchlison Rochmat

Saya sepakat dengan Persatuan Bangsa-bangsa yang menyatakan bahwa Rohingya adalah etnis yang paling tertindas di muka bumi ini. Mereka terusir dari rumah yang telah ditempati puluhan bahkan ratusan tahun lamanya.

Selasa, 26 September adalah hari keempat kami berada di Bangladesh. Pagi-pagi, kami bersiap menuju ke kamp pengungsian Rohingya yang ada di Kutupalong. Dari Cox's Bazar, tempat kami menginap, Kutupalong berjarak 60 kilometer. Diperlukan setidaknya tiga jam perjalanan dengan kendaraan mobil. Perjalanan yang cukup melelahkan, karena kami harus melalui kondisi jalan yang kurang baik, juga ada kemacetan di beberapa titik.

Di sepanjang jalan menuju kamp pengungsian, terlihat ada banyak personel militer. Senjata laras panjang menggenapi kegagahan mereka. 

Pukul 14.00 waktu setempat, kami sampai di 'pintu masuk' Kutupalong. Tak sedikit kendaraan yang diberhentikan di jalan itu, termasuk mobil yang kami tumpangi. Jantung agak berdebar saat kami digelendeng ke pos keamanan. 

Syukurlah, mereka hanya melakukan penyisiran dan pengecekan kepada siapa pun yang menuju ke kamp pengungsian. Setelah tertahan sekitar empat puluh menit, barulah kami diizinkan untuk melanjutkan perjalanan. 

"Pengamanan diperketat karena ada ARSA (organisasi ekstremis Rohingya) yang bergabung ke pengungsian," kata mitra lokal kami.

Rasa haru menyelimuti hati saat menyusuri jalan kamp pengungsian. Anak-anak bertelanjang dada—bahkan tidak sedikit yang telanjang bulat; orang-orang tua berjalan tertatih-tatih; dan ibu-ibu dengan kebaya yang sangat lusuh. Mereka tumpah ruah di sepanjang jalan. Wajah mereka terlihat amat muram, semuram langit siang itu. Rasanya memang tidak sedikit pun gurat kebahagiaan terpancar dari wajah mereka.

Di antara para pengungsi itu, ada yang duduk-duduk di bawah pohon; ada juga yang menyusuri jalan dengan langkah yang tak pasti. Entah apa yang mereka pikirkan. Setiap mobil yang berhenti, mereka datangi. Mungkin mereka berpikir mobil-mobil yang datang itu membawa barang bantuan.

Bagaimanapun, saat ini mereka bertahan hidup dengan mengandalkan bantuan yang datang dari luar. Entah sampai kapan, mereka akan melakukan hal yang sama: menyusuri jalan dengan harapan ada bantuan datang.

Kami mencoba masuk di kamp-kamp pengungsian yang berada di areal persawahan. Setiap kamp berukuran 2x4 meter persegi itu ditempati oleh sepuluh orang. Kami melihat di dalam kamp-kamp itu ada alas dari tikar, juga beberapa potong baju berceceran.

Anak-anak dan perempuan mendominasi areal kamp. Hampir di setiap sudut yang terlihat adalah anak-anak dan para perempuan. The United Nations Population Fund (UNFPA) memperkirakan, saat ini ada sekitar 150 ribu wanita Rohingya usia produktif (15-49 tahun), 24 ribu wanita hamil dan menyusui berada dalam pengungsian.

Hujan turun saat kami bersiap kembali ke Cox's Bazar. Dari dalam mobil, kami lihat warga Rohingya tak ubahnya seperti batu karang. Mereka tidak bergeser sedikit pun. Kami melihat sekujur badan mereka basah kuyup. Apa yang mereka pikirkan sampai-sampai tidak berusaha mengamankan badan dari air hujan? 

Saya menyadari percuma saja pertanyaan itu. Tidak ada tempat untuk berteduh karena tenda-tenda pengungsian telah penuh. Ukurannya yang hanya 2x4 meter, jumlahnya tak sebanding dengan banyaknya pengungsi, tak cukup memberi tempat berteduh bagi semua pengungsi. Saya semakin tahu, mereka masih dan sangat berharap akan datangnya bantuan.

Saat menempuh perjalanan kembali ke penginapan, hati tak bisa mencegah datangnya rasa pilu. Hanya doa yang mendalam, semoga esok nasib baik menghampiri mereka.

Penulis adalah wartawan NU Online yang ditugaskan ke pengungsian Rohingya di Bangladesh. Kegiatan dan liputan ini bekerjasama dengan NU Care-LAZISNU melalui program NU Peduli Rohingya

www.nu.or.id


Post a Comment

0 Comments